LEBAK, - meraknusantara.com,- TPI Binuangeun di Kecamatan Wanasalam merupakan tempat pelelangan ikan terbesar di Kabupaten Lebak, Banten. Bahkan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Binuangeun disebut-sebut sebagai sentra ikan tangkap terbesar di Propinsi Banten.
Membaiknya infrastruktur jalan di kawasan Lebak selatan juga semakin mendukung pemasaran ikan dari Binuangeun ke berbagai daerah di pulau Jawa. Di tahun 2022 omset transaksi pelelangan ikan di TPI Binuangeun mencapai Rp37,8 miliar.
Hal tersebut berbanding lurus dengan pendapatan asli daerah (PAD) ke Pemerintah Kabupaten Lebak dari hasil retribusi yang tembus Rp1,13 miliar di tahun kemarin. Retribusi yang tertinggi dari 11 TPI yang ada di Kabupaten Lebak.
Retribusi Jasa Usaha di TPI Binuangeun dipungut dari transaksi lelang ikan sebesar 3% yang dibebankan kepada pembeli atau pemenang lelang. Untuk nelayan sendiri dipungut iuran sebesar 2,5% dari hasil penjualan atau lelang ikan.
Iuran tersebut untuk menutup biaya operasional pengelola TPI yang dipegang oleh Koperasi Mina Muara Sejahtera.
Jika mengacu pada pendapatan TPI Binuangeun tahun 2022 sebesar Rp37,8 miliar, maka alokasi untuk biaya operasional pengelola mencapai Rp945 juta dalam setahun.
Ketua Koperasi Mina Muara Sejahtera, Wading Riana, menjelaskan bahwa iuran sebesar 2,5% tersebut merupakan hasil kesepakatan antara koperasi dan nelayan/pemilik kapal. Dan iuran yang terkumpul, seluruhnya dipakai untuk biaya operasional di TPI.
Itu merupakan kesepakatan bersama, antara kami pengelola, dengan para nelayan dan pemilik kapal. Kalau PAD hasil retribusi pelelangan kami setor seluruhnya ke pemerintah daerah," terang Wading, Rabu (18/1/2023).
Sedikitnya ada 11 petugas koperasi yang ditempatkan di TPI Binuangeun, mulai dari kepala TPI, juru lelang, kasir, administrasi, hingga petugas kebersihan. Sedangkan pihak Dinas Perikanan Kabupaten Lebak tidak terlibat dalam pengelolaan di TPI.
Besaran iuran 2,5% tersebut tak hanya membebankan nelayan namun sempat jadi perdebatan. Banyak pihak yang menilai iuran itu lebih mirip pungutan liar (pungli) karena tidak ada legal standing yang melandasinya. Hanya berdasarkan kesepakatan saja.
Perda No 8 Tahun 2010 Tentang Retribusi Jasa Usaha hanya menjelaskan besaran 3% retribusi yang dibebankan kepada pemenang lelang. Tanpa penjelasan lebih detail apakah hasil PAD dari retribusi tersebut dialokasikan sebagian kepada pengelola atau tidak.
Hingga saat ini tak sedikit nelayan yang mengeluh dengan besaran iuran tersebut. Apalagi tanpa ada kejelasan apakah iuran yang terkumpul mencukupi biaya operasional atau malah lebih dari cukup. Karena semua sudah ‘dipatok’.
PAD miliaran rupiah hasil retribusi TPI Binuangeun sudah disetorkan seluruhnya ke kas daerah. Namun pengelolaan, pengawasan, dan pemeliharaan TPI masih saja dibebankan ke nelayan dengan dalih iuran.
Pemerintah daerah sudah seharusnya turun tangan melakukan kajian dan evaluasi terhadap hal ini. Jangan sampai iuran dari nelayan yang hanya berdasarkan kesepakatan saja malah mengebiri kewenangan pemda.( Uz/Apang)
Posting Komentar