Bandung - meraknusantara.com, - Saat UUD 1945 asli masih berlaku Presiden bertanggungjawab kepada rakyat melalui MPR "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR". Sebagai mandataris, Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Pertanggungjawaban yang sangat jelas dan inilah yang dikehendaki oleh "the founding fathers" dalam rangka mengimplementasikan sila keempat Pancasila.
Kini setelah empat kali amandemen yang menciptakan predikat "UUD 2002" atau "UUD 1945 palsu" maka Presiden menjadi leluasa berbuat tanpa harus mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada siapa-siapa. Tidak jelas pula agenda apa yang akan dikerjakan. Dahulu ada "arahan rakyat" melalui GBHN kini menjadi semau-maunya saja. Benar bahwa DPR adalah wakil rakyat akan tapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR.
Ini menjadi penyebab utama Pemerintahan Jokowi menjadi amburadul kinerjanya. Presiden yang tidak bermutu itu masih ngotot pula untuk terus melanjutkan periode dengan dukungan kelompok kepentingan dan penekan amoeboid dan misterius yang bernama oligarki.
Empat "prestasi" menonjol Pemerintah di era ini, yaitu :
Pertama, sukses membungkam suara kritis DPR sebagai konsekuensi dari partai mayoritas yang terkooptasi dalam partai koalisi pemerintah. Mengubah sistem presidensial menjadi quasi parlementer dan DPR yang berfungsi sebagai "tukang stempel" di pinggir jalan.
Kedua, sukses membungkam media. Media cetak dan televisi sakit gigi dan tidak mampu memberitakan sikap kritis kepada pemerintah apalagi suara oposisi. Demonstrasi buruh, mahasiswa, umat, dan elemen rakyat lain nyaris tidak pernah terberitakan. Rezim Jokowi sukses dalam membunuh media informasi. Hanya media sosial yang masih mampu berkelit.
Ketiga, sukses membuat sepi investasi dan sibuk menumpuk hutang luar negeri. Proyek mangkrak dan mubazir menjadi fenomena dari realisasi program ekonomi. Jurang kesenjangan yang semakin menganga. Ekonomi pribumi sulit mengimbangi dominasi dan penguasaan asing dan aseng. Sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan demi memperkaya para pemilik modal.
Keempat, sukses meminggirkan kekuatan politik umat Islam. Isu terorisme, radikalisme dan intoleran menjadi senjata efektif untuk melumpuhkan. Moderasi menjadi jalan untuk sekularisasi dan de-Islamisasi. Atau sekurangnya melakukan rezimintasi faham agama melalui politik belah bambu, satu diangkat lainnya diinjak.
Semua "prestasi" itu dijalankan tanpa kontrol dan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Karena memang Presiden pada kenyataannya tidak bertanggungjawab kepada siapa-siapa. Ini adalah produk dari road map politik yang dicanangkan untuk menggerus demokrasi dan melecehkan ideologi.
Saatnya kita sadar diri untuk mengubah situasi. Presiden harus undur diri dan sistem bernegara mesti segera dibenahi. Jika tidak, rakyat terpaksa harus terus menerus memikul tandu berisi pemimpin negeri yang sudah lumpuh dan tidak mampu berbuat apa apa lagi.
Sang pemimpin yang hanya bisa mengoceh dan berhalusinasi tentang ibukota dan istana baru, mobil-mobilan berteknologi tinggi, kereta cepat antrian panjang penumpang, menggali harta karun bertrilyun-trilyun, membahagiakan famili dan kroni, serta menjual negara dengan harga obral lalu mendapat untung besar.
Mengoceh sendiri di atas tandu yang dipikul rakyat dengan nafas terengah-engah. Sang pemimpin itu memang beban.
(M Rizal Fadillah SH) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 17 Oktober 2022
Posting Komentar