Bandung- meraknusantara.com,- Dewan Pers melawan arus yang tentu membuat aneh. Adalah Ketua Komisi Pengaduan Etika Pers Yadi Hendriana yang menyatakan bahwa pemberitaan kasus penembakan Brigadir J harus hanya bersumber pada keterangan Mabes Polri "Jadi begini, penjelasan Mabes Polri itu, ya, itu saja yang ditulis. Kemudian tidak boleh berspekulasi lebih jauh". Menurutnya tidak boleh memberitakan pandangan pengamat juga.
Semoga pandangan dari Ketua Komisi Yadi Hendriana ini bukan suara resmi Dewan Pers sebab bila demikian maka itu menggambarkan sempitnya pandangan Dewan Pers. Terkesan media itu harus diborgol dan kita sedang berada di ruang otoritarian seperti di negara Komunis. Di negara Demokrasi fungsi media itu di samping memberikan informasi juga mendidik, menyalurkan aspirasi dan tentunya kontrol sosial.
Yadi dan Dewan Pers semestinya mengetahui ada yang disebut dengan jurnalisme investigasi yaitu kegiatan mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita yang bersifat investigatif atau sebuah penelusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan. Selain itu, investigasi merupakan penelusuran terhadap kasus yang bersifat rahasia.
Kasus penembakan di Duren tiga yang melibatkan aparat kepolisian setelah diberitakan resmi oleh Mabes Polri justru menunjukkan banyak kejanggalan sehingga publik wajar menilai ada sesuatu yang dirahasiakan. Media tidak boleh berfungsi hanya sebagai corong resmi tapi patut untuk turut melakukan investigasi dalam rangka kontrol sosial.
Kejanggalan yang terungkap baik dalam pemberitaan media maupun pandangan pengamat dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua sangat luar biasa. Untuk menetapkan tersangka Bharada E saja sulitnya setengah mati. Padahal katanya ia yang menembak mati. Dengan pembentukan Tim Mabes Polri yang mengikutkan Kompolnas dan Komnas HAM sudah menjadi gambaran akan ada cerita panjang dari kasus pendek itu. Bersama menguak peristiwa mudah yang dibuat sulit.
Dalam panggung ada tiga pemeran utama disana Bharada E, Putri istri Irjen Sambo, dan Irjen Fredy Sambo sendiri. Korban Brigadir J terbunuh dalam keadaan babak belur yang menimbulkan spekulasi-spekulasi.
Pertama, kepulangan Putri bersama driver Brigadir J dikuntit oleh Irjen Fredy bersama ajudannya Bharada E, dan ketika peristiwa kamar terjadi, maka kemarahan suami yang luar biasa menyebabkan penyiksaan dan pembunuhan. Bharada E membantu.
Kedua, Bharada E yang berada di rumah Duren tiga memergoki masuknya Brigadir J ke kamar Putri, lalu berkomunikasi dengan Irjen Fredy Sambo, lalu Irjen Sambo memberi arahan ini itu sehingga terjadilah penyiksaan dan penembakan. Peluru di tembok adalah pasca peristiwa. Irjen Sambo sudah berada di tempat.
Ketiga, ya versi Polisi hingga saat ini yaitu setelah pelecehan lalu terjadi tembak menembak dan Bharada E sukses menembak Brigadir J. Bharada E tidak kena tembakan. Putri menelpon Irjen Sambo, lalu tiba kemudian meminta Kapolres setempat datang. Soal bekas penyiksaan diabaikan.
Versi resmi Polri ini juga ternyata spekulasi karena belum tuntas.
Spekulasi tentu bebas bermunculan, termasuk dalam pemberitaan, itulah pentingnya bahwa pengusutan harus cepat. Memperlambat berbanding lurus dengan perbanyakan spekulasi. Dan itu hukum kausalitas. Cepat tetapkan tersangka baik itu pembantu atau pelaku utama. Ini satu langkah agar pemberitaan resmi dapat dipercaya. Dewan Pers tentu gembira.
Semoga kasus Duren tiga tidak menjadi "fairy tale" yang bakal jadi cerita dari generasi ke generasi.
Polri pasti bisa !
(M Rizal Fadillah SH) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 18 Juli 2022
Posting Komentar